Siapa yang Menciptakan Tuhan? Yuks Berfilsafat dengan Santuy

Siapa yang menciptakan Tuhan? Coba deh, sebelum menanyakan hal itu, berpikirkan tentang diri sendiri dan bersukurlah.

Siapa yang menciptakan Tuhan? 

Kemampuan logika manusia dalam menginterpretasi kejadian alam menjadi satu ciri khas yang tidak dimiliki makhluk lain. Hewan hanya memakai insting dalam melakukan tindakan. Namun manusia, diberikan akal dan nurani…

Sangat harus disyukuri.

Maka, kalau kamu masih mengeluh ketika jadi manusia, berarti logikamu belum dipakai secara maksimal.

Kita selalu membuat rumit setiap pemberian Tuhan dalam hidup yang pada dasarnya sederhana.” Hidup itu simple. Diogenes (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia).

Kadang, Manusia itu…

Ribet. Kenapa ‘dalam kehidupan sehari-hari’ orang lebih suka menciptakan kerumitan diri. Padahal sebenarnya hal itu bisa dibuat simple.

Nampak seperti anak-anak kampus yang sukanya ngomong ilmiah (baca: sok ilmiah). Kata-kata dibuat berbelit-belit, agar tampak seperti ahlinya ahli. Padahal, kalau dibedah, isinya juga agak sampah.

Kita ambil contoh dari hal yang lebih simpel dan radiks:

Kalau kamu tidur tanpa kasur sebenarnya tidak masalah. Saya dan mungkin kamu tentu akan tetap bisa tidur (kalau memang benar ngantuk). Karena esensi dari tidur adalah merehatkan tubuh.

Terus kok kayak ada aturan pribadi yang berkata gini, “Aku nggak bisa tidur kalau nggak di kasur, pakai bantal, guling, selimut, boneka, handphone, dan lain-lain?”

Toh hasilnya kan sama. Hanya perlu pembiasaan. Bedanya, satu harus ngeluarin uang untuk beli ini dan itu, satunya hanya tinggal tidur dan beres. Padahal dulu nggak ada kasur, kok orang-orang dulu banget bisa hidup dengan sehat sih?.

Itu Cuma misal, yang lain tentunya banyak…

Apalagi dihubungkan dengan pola pikir politikus, penegak hukum, dan orang-orang fanatik. Otak mereka terkadang ribet, rumit, terus nggak solutif…

Hindari Filsafat Ribet

Dalam filsafat, ada pola pikir radikal yang ditanamkan. Filsafat mengajarkan kita untuk berpikir mendalam, logis, dan tentunya realistis.

Ada setidaknya empat hal yang melahirkan filsafat, yaitu : ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan.

Empat hal itu memang baik jika: diterapkan dalam batas kewajaran.

Apa-apa kalau berlebihan memang tidak baik. Seperti gaya berfilsafat yang terlalu rumit sampai mikir gini, “Eh, kalau dunia ini yang menciptakan Tuhan, siapa ya yang menciptakan Tuhan?”

Pertanyaan ini adalah pertanyaan tanpa dasar keilmuan dan terlalu naif.

Satu hal yang tidak lepas dari pembahasan filsafat adalah hal-hal yang berbau metafisika dan transendental. Apa-apa yang tidak bisa dinilai, dilogika, dan dipikirkan dengan akal.

Gini: Kenapa tidak memikirkan otakmu sendiri sebelum memikirkan penciptaan Tuhan?

Kalau Tuhan menciptakan pikiran dan logikamu dengan kemampuan untuk melogikakan penciptaan Tuhan, niat Tuhan, dan hal-hal yang bertendensi menyamakan tuhan dengan makhluk, maka logikamu lebih besar ketimbang Tuhan.

Hayo… Kalau otak dan logikamu lebih besar daripada Tuhan, siapa yang tuhan jadinya? Tuhan itu atau otakmu?

Ribet kan?

Daripada Ribet, Gini Aja…

Kalau belum punya ilmu dan penalaran yang luas, please jangan membicarakan Tuhan. Karena condongnya akan sesat terus bangga dengan kesesatan itu.

Terkadang ada orang-orang orang goblok, memproklamasikan kegoblokannya, terus mengajak orang lain goblok. Benar-benar segoblok-gobloknya manusia.

Jadi, berpikir tentang Tuhan itu bukanlah  sebuah hal yang patut dibanggakan di wilayah publik. Memikirkan Tuhan adalah tentang perenungan, proses yang panjang, pencarian serius, dan penuh dengan penalaran yang betul. Selain itu juga penting adanya seorang pembimbing.

Tapi terkadang banyak orang yang bangga kafir, mengejek Tuhan, menyamakan Tuhan dengan makhluk, merasa sudah menyatu dengan Tuhan, dan gaya manusia-manusia aneh lainnya.

Jadi, nggak usah ribet. Lebih baik pikirkan bagaimana cara menjadi lebih baik di esok hari, ketimbang berpikir bagaimana Tuhan itu diciptakan.

Ada yang Lebih Ribet

Bagaimana proses penciptaan Alam semesta? Ex-nihilo atau Emanasi?

Pertanyaan itu sangat populer banget dalam filsafat. Proses alam semesta terwujud. Diperdebatkan sampai nggak akur.

Saya rasa kurang kerjaan. Hal itu mungkin perlu dipelajari, tapi ya nggak usah dibingungkan lagi. Imam Ghozali dan Ibn Rusd yang saling bertolak belakang sudah membahas itu semua sejak dulu.

Jadi, kalau kamu baru kenal. Jangan sok tahu, terus sok berpikir filsafat. Naif banget, beneran…

Filsafat itu menakjubkan, komprehensif, dan tentunya membuka wawasan otak dan hati. Filsafat jika dipelajari dengan benar, akan menciptakan pemimpin yang bijaksana, pembelajar yang tawadhu, dan manusia yang benar-benar kholifah.

Namun jika filsafat dipelajari dengan sombong, yang ada malah rumit, ribet, dan orang nggak mau belajar filsafat karena takut. Filsafat bukan ilmu untuk memelintirkan hukum agama dan negara. Bukan ilmu untuk berdialektika, beretorika, sehingga bisa mempengaruhi dan merugikan orang lain. Tidak seperti itu…

Filsafat itu patutnya menciptakan pemahaman pada manusia. Sehingga mereka lebih bisa menghargai hidupnya sendiri, manusia lain, dan tentunya alam semesta.

Jadi…

Jangan rumit. Sudah banyak berceceran orang ruwet yang sukanya memperburuk permasalahan. Kalau berfilsafat, mencari Tuhan, atau mencari jati diri, ya jangan terlalu berproklamasi dan berbangga.

Ilmu kita hanya 1/banyak dari 1/banyak tetesan ilmu Tuhan. Jadi, jangan sok jadi orang yang paling dekat atau paling kenal dengan Tuhan. Terus ngomong pada orang awam, “Aku lo kafir, aku lo murtad, aku lo tuhan…”

Jangan lupa bersyahadat….

(Dari aku yang nggak tahu apa-apa).

Bagikan postingan ini:
Laskar Pena
Laskar Pena
Articles: 224

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page