Sering sekali kita mendengar kalimat, “Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan” (Pinurbo, 2019). Membuat seseorang yang ‘pernah tinggal’ di Jogja akan selalu punya alasan untuk ke Jogja kembali. Bahkan mencari-cari alasan agar selalu di Jogja. Iya nggak?
Salah satu alasan orang tinggal di Jogja adalah studi, kuliah, atau mencari ilmu. Itu juga yang menjadi alasan saya pernah tinggal di Jogja, menetap di sana, dan dipertemukan jodoh di kota gudeg tersebut. Hmm… sungguh pengalaman yang luar biasa.
Tak pernah terbersit sebelumnya, perempuan biasa dari negeri seribu suluk di bumi melayu ini bisa terpaut erat dengan Jogja. Semua bermula dari UNY menerima saya sebagai mahasiswa magister di tahun 2022.
Jogja di Mata Orang Sumatera
“Pusat budaya Jawa, destinasi dimana-mana, pusat pendidikan di Indonesia.” Setidaknya itulah beberapa hal yang orang Sumatera seperti saya pikirkan ketika mendengar kata Jogja.
Terlepas dari itu, saya merasakan orang Jawa khususnya orang Jogja itu baik—bahkan terkesan sangat baik dan super ramah. Nggak hanya orang Jawa di Jawa, orang Jawa di Sumatera juga seperti itu. Meski banyak basa-basi dan kadang kurang tegas, orang Jawa itu menarik, punya kharismanya sendiri. Hahaha…
Jogja itu memang istimewa. Bukan hanya karena orangnya, tapi juga orangnya.
Saking istimewanya Jogja di mata orang Sumatera, kami bahkan berlomba-lomba menyekolahkan anak cucu kami ke Jogja—atau minimal ke Jawa, apalagi untuk saya yang Mandailing. Saya punya dua adik, semua sekolah di Jogja di kampus yang berbeda-beda.
Ada pandangan yang sedikit berbeda bila kami pulang menyandang gelar dari kampus Jawa. Kesan “orang pinter”-nya dapat banget. Saya merasakan hal itu. Nggak tahu sih, apa cuman saya yang merasakannya. Tapi intinya, Jogja di mata orang Sumatera itu benar-benar istimewa.
Exodus ke Jogja
Pernah dengar BPS mengeluarkan data bahwa Suku Batak dan Minangkabau adalah suka dengan lulusan sarjana terbanyak di Indonesia (dengan persentase 18.02% dan persebarannya 87,98% dari Sumatera). Luar biasa bukan?
Iya, luar biasa. Tapi sebagai orang yang lahir dari Suku Batak, saya tidaklah terkejut.
Bagi kami, pendidikan adalah salah satu pilar kesuksesan. Orang memberikan penghargaan sosial yang tinggi bagi gelar yang kita sandang. Menyekolahkan anak tinggi-tinggi adalah salah satu bentuk kesuksesan para orang tua Suku Batak. Nggak heran bila mereka berbondong-bondong meng-kuliahkan anak-anak mereka, terutama ke Jawa. Kenapa?
Karena kampus-kampus terbaik berkumpul di Jawa.
Nggak heran bilamana banyak orang Batak dan Minang hijrah ke Jawa untuk menempuh pendidikan. Mereka rela berpisah jauh dari orang tua, melintasi pulau, menempuh perjalanan panjang untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Saya adalah salah satunya; yang telah mencoba mencicipi kualitas pendidikan Jawa di salah satu kampus terkemuka bernama Universitas Negeri Yogyakarta.
UNY Adalah Gerbang
Bagi saya, UNY bukan hanya kampus. Namun, almamater yang menjadikan saya tahu banyak hal seperti sekarang ini. UNY membuat saya paham apa makna pendidikan dan rasanya kualitas pendidikan tinggi. Bahkan, lewat UNY juga, alhamdulillah Allah mempertemukan saya dengan jodoh saya.

Saya menikah dengan orang Jawa tulen, bertemu di organisasi, dan belajar banyak tentang Jawa dan kebudayaannya. Saya relakan diri berhijrah ke Jawa untuk menjalani apa yang Allah takdirkan untuk saya dan suami saya lalui.
Lewat UNY, saya merasakan betapa pentingnya bahasa persatuan, betapa beragamnya manusia Indonesia, dan betapa berkesannya budaya Jawa.
Tak hanya saya, beberapa teman juga mengalami hal yang sama. Mereka memiliki pasangan dan menikah dengan teman seperjuangan di UNY. Mereka bertemu di kelas, café, warung kopi, atau bahkan tak sengaja papasan di sekitar taman depan rektorat UNY.
UNY telah banyak membuktikan bahwa cinta tak kenal jarak, suku, bahasa, dan latar belakang sosial. Patung Kembara menjadi saksi, pertemuan berjuta manusia, membawa cinta dan rasa. Entah itu berakhir bahagia atau hanya menjadi pembelajaran semata.
Sayang rasanya, bila generasi muda tidak mendapatkan pelajaran dan pengalaman seperti yang saya dapat di UNY dan Jogja. Karena itulah, setiap ada kerabat tanya-tanya soal kampus, saya pasti akan merekomendasikan Jogja.
Menumbuhkan Pengabdian Masyarakat di Sumatera
Saya yakin, ada banyak sekali mahasiswa Sumatera yang kuliah di UNY. Dulu, di kelas saya saja 30%-nya adalah mahasiswa Sumatera; di kelas saumi saya 25%-nya orang Sumatera. Sayangnya, UNY masih tercium samar di Sumatera.
Membuat saya berpikir random, “Kenapa UNY nggak memperbanyak kegiatan di Sumatera?”
Di banding Jawa, saya yakin Sumatera lebih membutuhkan sentuhan pendidikan UNY. Di gadang-gadang sebagai kampus pendidikan, bahkan kampus pendidikan terbaik di Indonesia, saya yakin Sumatera lebih membutuhkan UNY. Ya nggak?
Sehingga, pengabdian masyarakat UNY di Sumatera sebaiknya ditingkatkan dan terus dikembangkan. Bilamana ada desa binaan di Jawa, UNY seharusnya juga punya desa binaan di Sumatera. Tentu, yang dilibatkan adalah alumni dan mahasiswa asal Sumatera.
Dengan sentuhan yang lebih intens, UNY akan lebih harum diperdengarkan di Sumatera. Sebaliknya, akan ada banyak masyarakat Sumatera yang bisa merasakan program-program pendidikan dari UNY, khususnya sekolah-sekolah di Sumatera.
Lewat alumni UNY, masyarakat Sumatera akan kenal UNY. Dengan kenal UNY, mereka kenal Jogja. Lewat Jogja, mereka akan kenal dunia. Ini adalah peran penting UNY dalam salah satu tri dharma perguruan tinggi, yaitu pengabdian masyarakat; tak hanya untuk masyarakat Jawa tapi juga masyarakat Sumatera.
Tentu tanpa melakukan hal itu, pada dasarnya UNY telah berhasil mencetak kader pendidik di Sumatera. Kita harus mengakui itu. Sudah banyak dosen di Sumatera yang lulusan UNY. Para alumni UNY pasti sudah mengabdi pada masyarakat dengan cara masing-masing.
Namun, sentuhan UNY secara langsung sepertinya harus ditingkatkan. Mengingat banyak mahasiswa asal Sumatera, tentu program-program pengabdian masyarakat tidak mustahil dilakukan.
Ya itu hanyalah pikiran random saya. Para birokrat kampus UNY pasti jauh lebih tahu ketimbang saya. Hehehe…
Penutup
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih pada UNY; kampus yang telah mendidik saya menjadi seperti yang sekarang ini. Rindu rasanya ingin singgah. Tak perlu lama, cukup menikmati teduhnya taman di sekitar Kembara.
Artikel ini ditulis untuk lomba blog UNY 2025 pada sub tema: Sosial dan Budaya.
Rumah Mertua, 6 Mei 2025
Frisma Winda Afifah P.
Tulisan pertama setelah nikah ni ye…