Beredarnya virus Corona jenis baru yang bernama Corona Virus Desease (Covid-19) pada akhir tahun 2019 membuat dunia terguncang. Kemunculannya pertama kali di Wuhan, China, membuat resah masyarakat dunia, termasuk Indonesia.
Memang tidak bisa disangkal, proses penularan virus baru ini sangatlah cepat. Menurut peneliti dari The University of Texas yang dilansir oleh Cnnindonesia, rantai penularan Covid-19 cukup cepat, yaitu kurang dari satu minggu. Hal ini disebabkan virus Covid-19 bisa menular lewat droplet atau partikel air batuk dan bersin. Selain itu orang yang tidak memiliki gejala (asimtomatik) juga bisa menularkan ke orang lain.
Setelah ditetapkan WHO sebagai pandemi dunia pada tanggal 12 Maret 2020, sosialisasi pencegahan Covid-19 mulai masif dilakukan. Pemerintah juga memberlakukan berbagai kebijakan, mulai dari PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), Work from Home, hingga tidak diperkenankan mudik. Kebijakan dan anjuran pemerintah itu dilakukan untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 agar tidak semakin meluas.
Meski sudah banyak kebijakan yang diterapkan, angka pertambahan positif Covid-19 dari hari ke hari terus meningkat. Bahkan, meski sudah diberlakukan PSBB, lambat laun masyarakat semakin tidak benar-benar peduli untuk menerapkan protokol kesehatan.
“Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan,” Kata Presiden Joko Widodo dalam video yang diunggah Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden pada 7 Mei 2020. Ungkapan presiden ini, bisa saja ditafsirkan oleh masyarakat sebagai bentuk aba-aba membebaskan Indonesia dari kebijakan PSBB dan Work from Home.
Bila masyarakat tidak dipahamkan tentang pentingnya mematuhi protokol pencegahan Covid-19 dari Kementrian Kesehatan, maka sangat besar potensinya, rantai penularan Covid-19 ini akan terus mengalami peningkatan.
Lantas, bagaimana solusi yang tepat untuk mengatasi rantai penyebaran Covid-19, tanpa harus lockdown atau PSBB agar tidak mengganggu keseimbangan ekonomi negara?
Isi (pembahasan dan analisis)
Banyak masyarakat yang mungkin belum menyadari, bahwa HIV/AIDS adalah virus dan penyakit menular yang lebih kejam dari Covid-19. Sudah sejak lama, HIV/AIDS ini menjadi pandemi dunia. Menurut dr. Setiawan (2020), sampai saat ini HIV/AIDS tidak memiliki obat penawar. Aktivitas virusnya hanya bisa ditekan dengan pengobatan Antoretroviral agar tidak cepat menyebar, mencegah resiko penularan, dan mengurangi resiko kematian akibat komplikasi HIV/AIDS yang drastis.
Berbeda dengan pasien Covid-19 yang bisa sembuh, orang yang sudah terinfeksi HIV tidak akan dinyatakan sembuh. Sebab virus ini akan tetap ada di dalam tubuh orang yang sudah terjangkit, meski orang itu terlihat sehat. Belum ada obat atau vaksin yang bisa membunuh virus HIV yang sudah masuk ke dalam tubuh manusia.
Di awal kemunculannya, HIV/AIDS tentu menjadi momok yang menakutkan layaknya Covid-19. Bahkan menurut Irfani (2018), HIV adalah satu pandemi yang paling merusak yang pernah ada dalam sejarah. Dari data United Nations Programme on HIV and AID (UNAIDS) pada tahun 2018 menyebutkan bahwa penambahan kasus HIV/AIDS di Indonesia ada 46.000 per tahun. Bisa dikatakan, rata-rata orang yang terjangkit HIV dalam satu bulan ada 3.833 lebih orang. Bila dijadikan rata-rata per satu hari, maka ada 127 lebih orang yang terinfeksi.
Bisa dikatakan, level dari dua pandemi ini sama-sama besar. Bedanya, Covid-19 penularannya lebih cepat namun punya potensi kesembuhan yang tinggi. Sedangkan HIV/AIDS penularannya lebih lambat. Namun sekali terinveksi, virus ini tidak bisa mati di dalam tubuh manusia.
Perbandingan di Beberapa Aspek HIV/AIDS dan Covid-19
Perbandingan | HIV/AIDS | Covid-19 |
Persentasi Kematian | 25,47% | 6,67% |
Angka Peningkatan (per hari) | Rata-rata 127 orang | Rata-rata 900 orang |
Kecepatan Penularan | Sedang | Tinggi |
Persentase Kesembuhan | 0% | Relatif (15% – 100%) |
Kesimpulan data tabel:Bila dibandingkan, HIV/AIDS dan Covid-19 sama-sama memiliki tingkat bahaya yang tinggi.
Bila level pandeminya sama, kenapa masyarakat tidak belajar dari HIV/AIDS untuk melawan Covid-19? Apalagi, Covid-19 ini memiliki kemungkinan sulit hilang dari muka bumi. Sama seperti HIV/AIDS yang belum hilang sampai saat ini sejak kemunculannya di sekitar tahun 1984.
Apa saja langkah pencegahan HIV/AIDS yang bisa diimplikasikan terhadap pencegahan Covid-19?
Sosialisasi yang Efektif
Sosialisasi untuk menciptakan pemahaman di masyarakat sangatlah penting. Nurwati dan Ruryidi (2018) menyatakan bahwa remaja yang memiliki pengetahuan akan HIV/AIDS serta cara pencegahannya, memiliki sikap lebih berhati-hati dalam bergaul dan menghindari penyimpangan seksual di usia pubertas mereka. Jadi, pengetahuan masyarakat sangat mempengaruhi tingkat penyebaran virus HIV.
Bila diimplikasikan ke pencegahan Covid-19, maka sosialisasi ini juga sangat penting dilakukan. Seperti Panduan Pencegahan Covid-19 yang diterbitkan oleh Badan POM, yang menjelaskan begitu spesifik semua hal tentang Covid-19 berdasarkan fakta yang aktual dan faktual.
Sosialisasi ini bukan berarti harus terus-menerus update segala hal yang berkaitan tentang Covid-19. Hal itu malah justru membuat masyarakat panik. Seharusnya, pemberitaan Covid-19 dilakukan secara berkala, agar tidak menimbulkan keresahan masyarakat. Seperti pemberitan media akan HIV/AIDS yang tidak terlalu sering. Sehingga masyarakat tidak merasa resah. Ketika masyarakat tenang, disitulah sosialisasi pencegahan rantai penularan Covid-19 bisa efektif dilakukan.
Kesadaran Menaati Protokol Kesehatan
Kesadaran pribadi sangat penting untuk memutus rantai penularan Covid-19. Anggina et al. (2018, 390) menyatakan, kesadaran Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) sangat mempengaruhi pencegahan dan penanganan HIV/AIDS. Maksud kesadaran di sini adalah kesadaran untuk menaati protokol kesahatan HIV/AIDS dan kesadaran untuk menjaga orang lain agar tidak tertular.
Ketika langkah ini diterapkan pada pencegahan Covid-19, artinya masyarakat harus sadar, bila tidak menerapkan protokol kesehatan, mereka bisa saling menularkan virus dan membahayakan diri sendiri serta orang lain. Selain itu, orang yang sudah dinyatakan positif Covid-19 harus menerima protokol kesehatan untuk menghindari interaksi dengan orang lain (isolasi).
Masyarakat harus sadar pula, jika Covid-19 adalah virus yang mudah menular lewat droplet, maka mereka harus menjaga jarak dan memperhatikan interaksi sosial mereka. Selain itu tetap menaati protokol dari kementrian kesehatan dan tidak menyepelekannya.
Mengatur Pergaulan
Marlinda dan Azinar (2018) mengungkapkan virus HIV bisa ditularkan melalui hubungan seksual, kontak darah, air susu ibu (ASI), cairan vagina, dan sperma. Maka dari itu, cara mencegah agar tidak tertular penyakit ini adalah menghindari kontak dengan media penularannya.
Kata kuncinya adalah memperhatikan pergaulan agar tidak kontak langsung dengan media penularan virusnya. Dengan memiliki pergaulan yang sehat dan bersih, maka virus HIV tidak akan bisa masuk ke dalam tubuh manusia.
Sama ketika diterapkan pada pencegahan Covid-19. Ketika fakta mengatakan virus ini bisa menyebar melalui media batuk, bersin, bahkan berbicara. Maka solusinya adalah memperhatikan jarak ketika bergaul dan menjaga interaksi dengan orang lain. Selain itu juga tidak menyentuh benda-benda sembarangan di tempat umum dan segera cuci tangan pakai sabun atau lebih baik mandi setelah keluar rumah.
Stigma Masyarakat
Anggina et al. (2018, 389) juga memberikan penjelasan bahwa stigma masyarakat pada ODHA sangat berpengaruh besar terhadap pencegahan penularan HIV/AIDS. Penderita HIV/AIDS mendapatkan tekanan psikologi yang besar ketika mendapat diskriminasi sosial di lingkungan masyarakat sebab penyakit yang diderita. Hal ini bisa mendorong tindakan putus asa serta ketidakpedulian ODHA untuk tetap bertahan hidup dan tidak menularkan HIV kepada orang lain.
Sama seperti stigma masyarakat terhadap ODHA, pengaruh diskriminasi sosial terhadap pasien positif Covid-19 juga harus dihilangkan. Caranya adalah dengan kesadaran pribadi untuk memeriksakan diri ke dokter bila merasakan gejala Covid-19. Dengan cara ini, pasien positif akan segera diisolasi, sebelum masyarakat memberikan tekanan sosial dan diskriminasi. Kecurigaan dan diskriminasi tidak bisa memutus rantai penyebaran, malah bisa memperparah kasusnya.
Penutup (kesimpulan dan saran)
Tak dapat dipungkiri, vaksin untuk HIV/AIDS dan Covid-19 belum ditemukan hingga saat ini. Maka dari itu, diam dan menunggu vaksin ditemukan adalah sebuah kesalahan besar. Harus ada solusi yang jelas untuk tetap hidup bersosial meski berdekatan dengan Covid-19 maupun HIV/AIDS.
Sosialisasi yang efektif, kesadaran menaati protokol kesehatan, mengatur pergaulan, dan stigma masyarakat harus bisa dilakukan dan dikendalikan. Solusi ini bisa diterapkan pada pencegahan Covid-19 maupun HIV/AIDS.
Mengutip perkataan Bill Clinton, presiden Amerika Serikat ke-42, “AIDS ini bukanlah masalah orang lain. Ini adalah masalah kita semua,” Memberikan isyarat yang begitu jelas, jika perlu ada kolaborasi dan kerja sama di semua pihak untuk menyelesaikan pemasalahan Covid-19 ini.