Bahasan yang nggak penting memang, fenomena ngantri cerai. Sebuah fenomena nyata di Bandung. Sehari bisa sampai 150 gugatan. Benar-benar wow…
Membuktikan jika pernikahan tidak seindah yang kamu pikirkan…
Bukan tentang mbayangin anak, buat anak, cetak anak, terus lihat anak tumbuh. Nggak sesimpel itu guys.
Kayak hidup: bukan tentang lahir, menikah, mati aja. Tapi jauh lebih kompleks dari itu…
Pikiran Manusia Semi-Gede
Dulu, anak lumrah menikmati cinta monyet di usia-17. Makanya ada istilah sweet 17th. Tapi kayaknya sekarang nggak gitu.
Anak-anak di zaman ini sudah pubertas dini. Memaksakan diri untuk merasakan cinta-cintaan di usia yang masih belia. Umur SD dan SMP, sudah lihai menggombal.
Saya nggak pakai istilah ‘Dewasa’, karena istilah itu saya rasa lebih cocok disematkan pada anak yang sudah tahu apa yang namanya konsekuensi.
Saya lebih suka pakai istilah ‘Semi-Gede’. Anak yang belum cukup umur, tapi sudah sok dewasa merajut ikatan yang mereka katakan sebagai cinta.
Di umur ketika saya masih main layang-layang, tanding gundu, petak umpet, gobak sodor, tawuran antar SD dan SMP, di zaman ini anak seusia itu sudah mainan ayahanda ibunda, kakak adik, dan mama papa….
Sebuah peningkatan kualitas generasi yang signifikan. Dari mainan layang-layang jadi mainan sayang-sayang…
Atmosfer Percintaan dan Pernikahan
Saya rasa, alasan kenapa banyak orang pikirannya nikah, nikah, dan nikah adalah lingkungan. Entah itu teman sepergaulan, media sosial, ataupun keluarga.
Nggak masalah sih, silahkan aja kamu nikah muda, nikah dengan siapapun atau bahkan dengan apapun. Disini saya hanya membahas…
Kenapa ya, orang-orang itu berani nikah tanpa persiapan sama sekali?
Bukan tentang siap di mulut saja lho. Namun, nikah kan bukan tentang hubungan satu keluarga. Bukan tentang menghidupi istri, akan tetapi mempersiapkan persalinan, ngerawat anak, berhubungan dengan tetangga, keluarga mertua, dan lain-lain.
Apakah kehidupan serumit itu patut hanya dipikirkan sesederhana, “Aku siap kog,”
Mungkin inilah hal yang menyebabkan perceraian…
Sebab Perceraian Menurut Kata Orang
Ini bukan menurut saya, sebab saya belum nikah juga. Jadi nggak tahu gimana kondisi after married yang sesungguhnya. Meski demikian, logisnya menikah itu bukan hanya perjuangan pada proses pernikahannya aja kan?
Bukan hanya tentang cocok nggak cocok, rumahnya ngalor-ngulon, mitos masyarakat, ataupun bentuk perjuangan cinta lainnya…
Namun, nikah itu tentang sebuah hubungan selamanya, tersinergikan dalam satu lingkup lingkungan (terkadang juga LDR), dan berkolaborasi dengan menghubungkan satu visi dengan visi orang lain…
Itu berat! Jadi, saya rasa nggak sesimpel buat anak, hidupi anak, terus tua and mati…
Oke, langsung aja sih, inilah beberapa alasan kenapa orang cerai setelah menikah:
Ekonomi
Bukan gara-gara sabun cuci ya.
Namun gara-gara kondisi moneter, keuangan, kebutuhan rumah tangga, dan finansial yang sial. Bisa dikatakan, Ekonominya Kacau Balau Nggak karu-karuan…
Dari umur yang segini, saya rasa mengatur ekonomi itu memang susah. Apalagi mengkolaborasikan pengaturan ekonomi. Manajemen bersama…
Rasanya sulit bet…
Ya lumrah banget banget, “Emak-emak itu kalau kekurangan uang, terkadang emosinya nggak stabil. Setelah itu nyangkutin apa-apa dan membahas apa-apa. Akhirnya konflik yang terjadi…”
Selingkuh
“Kumenangisssss…. Membayangkan! Betapa kejamnya kucingmu pada kucingku,”
Cuplikan kisah perselingkuhan, perpoligamian yang tak direstuai, atau cerita-cerita kreatif yang membuat emak-emak di seluruh bumi Indonesia yang bisa akses +62Siar, ikut emosi.
Ada yang lakinya selingkuh, ada yang perempuannya selingkuh. Kita yang belum nikah harus mikir, “Yang kesulitan uang, cerai gara-gara ekonomi. Yang kelebihan uang, cerai gara-gara diselingkuhi…”
Hayo… kalau disuruh milih, kamu milih mana nihh?
Gara-gara film “Kumenanggissss!!!” kesan perceraian menjadi hal yang biasa, lumrah, dan seolah-oleh salah satu konflik biasa dalam hubungan rumah tangga.
Memang, brain washing.
Nggak Puas
Ini bahasan yang sensitif, jadi saya ulas sedikit aja…
Pokoknya, kata Dr. Byoke, kalau hubungan seranjang itu harus saling puas. Kalau nggak puas, bisa merambat ke permasalahan lainnya.
Bukti konkritnya saya nggak tahu dan belum pernah ngalamin juga…
Kurang Sabar
Kalau faktor ini, rasanya sangat beeraat banget…
Karena “Sabar itu nggak ada batasnya!”
Kalau sabar ada batasnya, maka ia belum bersabar. Lha wong sabar itu memberikan satu istilah pada seseorang yang bisa melampaui batas. Kalau terbatas ya tidak sabar namanya…
Bayangkan nih, kamu nikah sudah dapat 40 tahun. Lihat istri atau suamimu yang gitu-gitu aja setiap hari. Kelakuannya makin hari makin menjadi-jadi…
Hayo… Kalau nggak sabar nih, gampang banget terjadi cerai.
Katanya orang-orang, “Kalau nikah harus bersabar menghadapi pasangan. Apa-apa harus diselesaikan dengan kepala dingin. Kalau nggak, konflik gampang terjadi. Akhirnya cerai deh…”
Berat pokoknya kalau urusan yang satu ini…
Kurang Ilmu
Ini adalah faktor yang paling menentukan ‘katanya’.
Coba kita pikirkan, di saat ada pasangan baru nikah 2 tahun udah cerai, ada lo yang pasangan lain yang saling setiap sampai mati. Padahal dilingkupi harta, tapi ia tidak selingkuh…
Nah, berarti kan faktor yang benar-benar menentukan tidak hanya harta atau orang ketiga kan?
Namun pengetahuan seseorang. Orang yang ilmunya mumpuni dan benar-benar siap nikah, katanya bakalan setia dan bertahan sampai lama…
5 faktor itu mungkin yang bisa buat pasangan bercerai. Namun itu hanya ‘katanya’, saya pun nggak tahu. Soalnya hanya nulis dari ‘katanya’ orang aja.
Toh saya juga belum pernah menikah sama sekali. Wkwkwkw…
***
Jadi, nikah itu indah atau masalah?
Mungkin jawabannya adalah: “Nggak melulu indah, nggak melulu masalah.”
Ya, kalau ingin tahu jawaban aslinya, menikahlah. Saya belum berani.
*Salam dari orang yang nggak ngerti apa-apa, tapi berani nulis kek ginian…