Belajar dari Film Tilik : Mulut itu Dijaga!

Belajar dari Film ‘Tilik’ – Sudah beberapa tahun yang lalu, film ‘Tilik’ dibuat, tapi saya baru saja melihat beberapa hari lalu. Benar-benar film yang luar biasa. Mencerminkan banget kondisi sebagian masyarakat (khususnya wanita) Indonesia.

Saya sebenarnya nggak bermaksud menjelekkan Indonesia, tapi ya gimana lagi…

Saya nggak pernah ke luar negeri e’. Jadi, ya nggak ngerti budaya serta kebiasaan orang luar negeri. Toh film ‘Tilik’ juga dibuat untuk orang Indonesia.

Kali ini, saya mencoba mengambil pelajaran (ibrah) dari film ini…

‘Katanya Twiter Beberapa Waktu Lalu’…

Pemain Bu Tejo menangis beberapa hari karena di-bully netizen. Ya itulah masyarakat kita. Kalau disindir terus balas dendam. Beraninya main keroyokan lagi…

Sebelum berita Bu Tejo menangis (entah benar atau nggak), saya sudah mbatin, “Kog mau ya orang ini mainin peran kek gitu? Apa nggak takut sama masyarakat ya…”

Di masyarakat, satu kesalahan itu rasanya terkenang sepanjang masa. Lha ini, sudah main film, terus menggambarkan gaya mulutnya masyarakat. Impact-nya pasti sangat besar.

Tapi menurut saya, film ini layak dipuji. Selain memberdayakan ibu-ibu, film ini mampu menarik jutaan penonton karena ciri khasnya sendiri.

Meksi meme wajahnya Bu Tejo sudah tersebar dimana-mana, semua masyarakat mendapatkan pesan dari film ‘Tilik’ ini. Meski pada dasarnya, masyarakat itu juga baru tahu film itu kemarin-kemarin aja.

Sosok Bu Tejo

Bu Siti Fauziyah yang memerankan karakter Bu Tejo ini ‘kata berita’ menangis karena dianggap melanggengkan stereotip (konsepsi sifat suara golongan) perempuan yang suka nyinyir.

Ya padahal menurut saya nggak gitu-gitu amat sih. Emang banyak perempuan kek gitu kok.

Iya sih, ada yang enggak. Tapi kan banyak yang iya…

Kalau kamu mau sok analisis, banyak lho karakter ‘gateli’ dari sosok Bu Tejo ini. Misalnya:

  • Suka nyinyirin orang lain
  • Suka gibahin orang
  • Suka pamer perhiasan
  • Ibu-ibu yang Bar-bar
  • Kurang bersyukur
  • Kalau bicara “Loss”
  • Dan lain-lain

Pokoknya sempurna. Berbagai sifat buruk wanita benar-benar melekat. Hingga bisa menimbulkan satu pembelajaran, “Itu lho nak, jadi anak perempuan jangan kayak Bu Tejo.”

Orang yang melihatnya terkadang juga ikut terbawa emosi dan bahkan menahan tawa (misal) mirip tetangga sebelahnya. Wkwkw….

Coba Sok Filosofis : Ibrah dari Film ‘Tilik’

Saya mencoba mengambil pelajaran dari film ini. Mungkin juga akan saya sangkutkan dengan realita di kehidupan saya. “Masyarakat itu memang kejam.”

Mulutmu Cerminan Sikapmu

Dengan melihat orang seperti Bu Tejo, saya merasa begitu gregetan. Mungkin bakalan ada orang yang bilang gini, “Kok ada ya orang kek gitu?”

Tapi nyatanya dalam kehidupan nyata juga ada. Pencari isu hot, pengompor, dan penyebar hal-hal fitnah. Tapi untungnya, di film Tilik ini, isu yang disebar Bu Tejo kayaknya beneran, wkwkw….

Orang baik nggak bakalan membebaskan retorika mereka ketika ngomongin orang lain. Karakter Bu Tejo ini seakan-akan mengalir uenak dan terkesan sangat natural. Bisa dikatakan “Mendarah daging…”

Terlepas dari sikap asli Bu Siti Fauziyah gimana, tapi tokoh Bu Tejo ini kalau dalam dunia nyata tentu seperti orang yang ‘cinta harta’, suka iri terus ngomongin orang, dan suka nyebar-nyebar hal-hal yang berbau trending.

Masyarakat Mencatat Sikap Publikmu

Tokoh yang bernama ‘Dian’ mungkin terlalu sering menampakan sikap ‘tidak sopan’-nya. Misal, belum nikah sudah jalan sama orang lain. Kerjanya nggak jelas, tapi tiba-tiba kaya.

Nah, sama seperti di kehidupan nyata. Ketika saya melakukan satu tindakan yang memalukan, topik ini dibawa dari satu majelis ke majelis lainnya. Didakwahkan hingga kemana-mana. Bahkan topik awal pun lenyap, berganti dengan isu baru yang terus didengungkan.

Maka ketika hidup di masyarakat. Lebih baik kita diam daripada ngomong atau melakukan sesuatu yang bisa dijadikan bahan pengibaran tetangga.

Kalau kita di rumah, mungkin terserah mau ngapain. Terpenting tidak ketahuan masyarakat. Tapi kalau di luar publik. Jangan deh…

Lha wong nunjukin prestasi aja dirasani, apalagi nunjukin kasus negatif…

Sikap Baik Terkadang Nggak Diapresiasi

Ada tokoh yang bernama Yu Ning (kalau nggak salah) yang memiliki karakter baik, mendinginkan isu, tapi malah nggak dibela sama temen-temennya.

Terkadang, nikmatnya membicarakan orang lain itu membuat manusia lupa mana yang benar dan mana yang salah.

Walaupun kita jadi orang baik, memiliki rasa ingin terus menebar kebaikan, terkadang ketika melebur di masyarakat, kita langsung menjadi seperti masyarakat itu. Orang pendiam pun, kalau teman baiknya suka nyinyir, lama-lama pinter nyinyir juga.

Misal kamu memegang sebuah kebenaran, terus kamu ungkapkan di masyarakat. Tentu kebenaran masyarakat akan bakalan tetap menang. Ya, di lingkungan masyarakat, terkadang kebenaran mutlak terdistorsi jadi kebenaran alternatif.

Hukum pun Kandas

Lihat pak polisi menilang, “Kendaraan truk tidak boleh bawa penumpang manusia, anda saya tilang…”

Hukum lalu lintas itu diterjang. Apalagi pak polisinya hanya satu. Lawannya Bu Tejo and her Friend. Polisinya nggak bisa ngapa-ngapain.

Saya langsung inget video lucu yang nunjukin emak-emak bawa sepeda motor, tanpa helm lewat saja di depan polisi-polisi. Entah video itu buatan atau tidak, mungkin polisinya mikir, “Daripada ribet, biarin aja wes…”

Hukum massa itu kejam. Maling (salah tangkap) aja bisa mati babak belur. Maling sepeda motor, bisa saja dibakar bersama sepeda motornya juga.

Jadi, ketika sudah bentrok dengan emosi masyarakat, harga pun nggak ada harganya. Semua harus dibalas secara kontan. Bahkan dengan bunga yang berlipat ganda…

Entah Baik ataupun Buruk, Isu Pasti Diadakan

Kalau kamu pintar, orang ngomongin kepintaranmu. Kalau kamu bandel, orang bakalan ngomongin kebandelanmu. Jadi, serasa nggak ada sekat bagi masyarakat (ketika berkumpul) tidak membicarakan orang lain.

Harus ada bahasan dan topik.Awalnya memang baik, tapi lama kelamaan pasti akan menjurus ke hal-hal yang kesannya negatif. Karena membicarakan keburukan orang itu, membuat adrenalin dan gairah memuncak.

Intinya: orang itu suka ngomongin kebaikan diri sendiri dan keburukan orang lain.

***

Mungkin itu dulu saja bahasan saya tentang belajar dari film ‘Tilik’ ini. Memang sih nggak jelas, tapi ya saya coba tafsirkan dari sudut pandang saya sendiri. Bagaimana menurutmu? 

Satu pemikiran pada “Belajar dari Film Tilik : Mulut itu Dijaga!”

Tinggalkan komentar

You cannot copy content of this page