Dia Mengoceh Bersama Bir

“Kau pikir menulis itu semudah katamu?
Tentu saja tidak jika kau menginginkan tulisan bagus nan epik.” Katanya setelah meminum air yang membuatnya hilang kesadaran.

“Dengar yaa.. Aku setuju dengan kalimat bahwa siapapun bisa menulis. Tapi akan kutambahi, Namun tak semua orang bisa menjadi penulis. Hahaha.. Ingat-ingat itu. Jangan termakan trik-trik para motivator. Yang tau keadaanmu adalah kamu sendiri. Hehe. Kamu memiliki trik sendiri, yang tentu saja harus kamu cari tau sendiri. Kegunaan mereka hanya pendorong, kaulah pelaku utama dan pelaksana.”

Aku mengernyitkan dahi. Sepertinya dia benar-benar sudah mabuk. Di sisi lain juga ada benarnya. Ah, apa aku terlalu termakan segala informasi tanpa saringan. Makanya dulu aku tetap bingung dengan bagaimana cara menuliskan apa yang ada di kepala. Banyak deretan buku tentang “How to..” di rak kamarku. Tapi nihil karena merasa terbebani teori tanpa solusi.

Dia mencoba menuangkan bir dari botol ke gelasku. Aku menolak pelan dengan memberi isyarat gelengan kepala. Dia mengedipkan mata pelan, persis orang bangun tidur namun bedanya sekarang dia diambang kesadaran.

Lalu dia menenggak sendiri ke mulutnya, setelah itu mengoceh lagi.

Dengan konotasi yang agak njlimet dia berkata, “Sudah berapa tahun Aku mengenalmu ha?! Tapi kau begini-begini saja tanpa karya. Menjadi penulis katamu? Hahahaha.”

Tawanya terdengar meledekku sekali. Dia menenggak lagi bir dari gelasnya.

“Jangan mimpi…”

Dasar tukang mabuk. Bicara sempoyongan saja belagu kasih ceramah tentang mimpiku.

“Penulis-penulis yang terkenal itu menyukai menulis sejak masih kecil. Banyak membaca karya orang lain. Banyak belajar dan pandai bersosialissasi. Banyak berlatih.”

Dia meminum bir nya lagi.

“Sedang kau…” Katanya sambil mata terpejam menunjuk diriku.

“Terlalu banyak teori, jarang praktek.” Dia menaruh gelasnya kasar ke meja hingga berbunyi ‘taak!’. Kecapan mulutnya terdengar bahwa dia sudah sangat pusing. Terlalu banyak bir yang masuk ke perutnya.
Aku masih terus memperhatikan gerak gerik dan mendengar segala perkataannya. Ya, ya, meski apa yang dia katakan benar, tapi aku merasa kesal.

“Aku ini…” Dia terlihat sangat lemas sekarang. Kulirik jam tangan sudah berada di setengah dua belas malam. Saatnya membawanya pergi.

“Aku ini sama sepertimu.. haaahh.” Gerutunya lagi kini dengan menempelkan wajah ke meja. Dia merengek.

“Meski aku tau.. tapi aku tak bisa mempraktekkannya.” Dia terdengar seperti orang menangis. Yaaa, Aku mengerti perasaannya.

Tak lama kemudian kudengar dia mendekur.

Aku menarik napas. Seharusnya tak kuajak dia kesini. Kukira dengan datang ke kedai ini dia bisa lupa dengan penolakan editor kepada novel yang sudah dia kerjakan sepenuh cinta berbulan-bulan lamanya. Padahal sebelum kudengar curhatannya, aku telah mengantongi kabar bahagia, bersiap memberitahunya bahwa naskah novelku diterima di tempat kami menyodorrkan naskah bersama.[F]

Tinggalkan komentar

You cannot copy content of this page