KATA ORANG, ITU SAMPAH!

Dengan perasaan kecewa, ia melenggang pergi. Membawa tas berisi tulisan-tulisan yang berbulan-bulan ini ia kerjakan siang malam. Lalu ia berhenti sejenak. Menatap langit...

Berhentilah mengirimiku novel-novel ini.”

“Cobalah baca dahulu. Mungkin saja lebih menarik.” Jawabnya meyakinkan. Tapi yang diyakinkan malah semakin menaikkan nada bicaranya.

“Lebih baik apa? Sudah kutakan berhentilah. Kau tak lihat kerugian yang selama ini kuhadapi karena novel-novelmu ini?”

Yang ditanya diam. Menunduk. Tak berkata apa-apa.

“Kau ingat? novel pertama dan keduamu tak banyak yang laku. Isinya sampah. Apa kau tak menyadarinya? Kalau aku bukan pamanmu, sudah kubuang benar ke tong sampah.”

Lagi-lagi yang diajak bicara diam.

“Kau pernah kuliah dan punya ijazah, carilah kerja lain. Tulisanmu tak bisa bersaing dengan penulis terkenal lainnya di zaman sekarang.” Kini nada bicaranya sedikit turun. Orang berbadan besar berdasi itu mengurut keningnya. Lalu duduk menghadap komputer dengan tangan yang masih memijat-mijat kening yang semakin berkerut saja.

“Aku memiliki cita-cita menjadi penulis, Paman. Aku menulis karena menyukainya.”

“Lalu bawa saja novelmu ini ke penerbit yang menyukainya juga. Aku sudah cukup membantumu selama ini.” Tandasnya.

Dengan perasaan kecewa, ia melenggang pergi. Membawa tas berisi tulisan-tulisan yang berbulan-bulan ini ia kerjakan siang malam. Lalu ia berhenti sejenak. Menatap langit.

“Masihkah ada harapan untukku?”

Pertanyaan yang entah ditujukan untuk siapa. Mau marah juga tak bisa. Benar, pamannya sudah cukup membantu selama ini. Dari seribu eksempelar, hanya seratus yang bisa terjual. Tentu bukan hal yang mudah menghadapi kenyataan bahwa novel yang kau kerjakaan dengan sepenuh hati, tak laku di pasaran.

Karena lelah, ia membeli sebotol air minum. Duduk di bangku taman. Sesekali melihat ponselnya yang tak ada pesan. Ia merenung. Berpikir. Apa masih ada kesempatan untukku?

Seperti dijawab langit dengan pesat, ia tersenyum, melihat seorang gadis berambut panjang sedang membaca sebuah buku. Buku yang tak asing di matanya. Dengan tebal kira-kira dua ratus halaman, gadis yang ia lihat telah membaca sampai setengahnya, ia merasa bungah. Ia berpikir, apa gadis itu benar-benar menikmati karyanya. Ah, melambung hatinya. Perasaan kecewa itu mendadak sirna. Tergantikan dengan ingatan baru. Ia memencet tombol yang ada di ponsel genggam dan terdengar bunyi jawaban dari sana.

“Apa kau bisa menerbitkan novelku, kawan?”

“Bisa. Mau cetak berapa? Nanti kukirimkan list harganya.”

“Ah, baiklah.”

“Tapi kau harus tau, aku tak bisa ikut menjualkan sepenuhnya. Setengahnya kau sendiri yang harus memasarkan.”

“Aku tak pandai dalam bidang itu kawan. Aku penulis.”

“Kalau begitu, maaf. Aku tak bisa membantu banyak.”

Dengan cepat ia berpikir. Mungkin ini bukanlah masalah. Ia dapat memperoleh pengalaman baru. Sehingga ia menyetujui dan memutuskan untuk bertemu dengan kawannya yang sanggup menerbitkan novelnya.

Sesuai dengan waktu yang disepakati, berangkatlah ia ke stasiun. Membeli tiket dan menunggu kereta. Tak lama keretanya datang. Ia memilih tempat duduk sesuai nomor. Hatinya berdegup. Sebentar lagi ia bisa membuktikan kepada pamannya bahwa novelnya layak diterbitkan. Ia bersenandung dalam hati. Terlebih melihat seorang gadis berjaket yang sedang membaca sebuah novel. Lagi-lagi hatinya berbunga.

Itu novelku. Kumbang di Taman. Novel pertamanya. Ah, bagaimana menjelaskan kegembiraan ini. Ternyata novelku ada yang suka kok. Sejelek-jeleknya pasti ada yang suka. Hmmm… senangnya.

Namun…

“Shit! Aku muak..” kata gadis berjaket itu menutup bukunya kasar.

“Kau juga?” Kata seorang perempuan di sampingnya. “Kukira kau menyukainya karena terus membaca.”

“Tidak! Lama-lama bosan. Tidak menggairahkan.”

“Sependapat. Ini aku juga bawa. Kukira bagus.” Kata perempuan itu menimpali.

“Bagusnya emang dibuang di tempat sampah. Hahahahha.”

Tawa itu menusuk hati seorang laki-laki yang melihat dari jauh. Perasaan senang itu tiba-tiba menjadi gelegar petir menyambar bumi. Hangus.

“Tapi di sini tak ada tempat sampah.” Kata gadis berjaket.

Tanpa ba bi bu, perempuan satunya membuka jendela. “Buang saja di sini. Hahahaha.”

Tawa itu. Membuat telinganya sakit. Seketika matanya basah. Harapan itu seketika musnah. Pikiran bahwa apa yang dikatakan pamannya benar. Novel-novelnya adalah sampah. Kata orang-orang, itu sampah. Pantas masuk tong sampah. Buang. Dibuang saja!

Telinganya semakin berdenging. Kedua tangannya berusaha menghalau rasa sakit. Tetapi semakin terngiang perkataan pamannya, telinganya semakin lara tak terkata. Ia meraung. Kesakitan. Diam-diam sebutir air jatuh dari sudut matanya. Hatinya hancur. Kata-kata sampah terus terlintas di pikirannya.

“Sampah! Sampah pantas dibuang di tong sampah.”

Lantas orang-orang berkerumun. Menolong laki-laki muda malang yang tiba-tiba tak sadarkan diri. Mereka tak tahu, bahwa pemuda itu telah mati, bersama mimpi yang belum lama bersemi kembali.[F]

Bagikan postingan ini:
Laskar Pena
Laskar Pena
Articles: 223

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page