Polemik Partai Politik dan Representasi Politik Kampus [Sekedar Opini]

Polemik Partai Politik dan Representasi Politik Kampus – Beberapa hari ini, partai demokrat dilanda polemik. Penulis sangat bahagia melihat itu semua, karena beberapa fakta bisa terbongkar (bahkan oleh pelakunya sendiri). Membuktikan jika politik Indonesia juga sama seperti politik –sebagian kampus di Indonesia.

Memang tidak salah juga sih, karena pemerintah juga kebanyakan dikader dari kampus. Rata-rata dengan skema Organisator Kampus > Organisator Partai > Organisator Pemerintah. Ya tentu tidak mutlak sih, tidak semua memiliki skema demikian. Hanya kebanyakan saja.

Alur Kaderisasi Organisator Indonesia [Sekedar Opini Saja]

Kampus adalah sebuah wadah untuk memproduksi pengetahuan politik (Sair, 2016). Maka tidak salah jika dikatakan bahwa kampus adalah kader pemimpin panggung politik negara. Bahkan tidak ada yang memungkiri jika kampus dengan mahasiswanya mampu menumbangkan rezim Soeharto (20 Mei 1998).

Namun sejalan dengan perkembangan zaman, rasanya semangat itu kian redup. Mahasiswa –dengan atmosfer keilmuannya diduga mengendarai organisasi-organisasi untuk mencapai top posisi untuk tujuan elektabilitas pribadi dan lancarnya finansial.

Fakta yang samar ini menjadi pintu yang terbuka bagi kader negara. Mereka akan mengambil oportunisme mahasiswa modern untuk menciptakan kader-kader baru yang militan membela kepentingan kelompok, bukan kepentingan rakyat.

Sehingga, alur kaderisasi menjadi terbalik. Maksudnya gimana?

Idealisme muncul dari Organisasi Bawah

Boleh dikatakan, semakin tinggi jumlah cakupan suara dan anggota, semakin politis atmosfer sebuah organisasi. Sebut saja, Negara adalah sebuah organisasi terbesar sebuah bangsa. Sehingga ada pemimpin, cakupan kepemimpinan, dan tentunya objek terpimpin.

Secara ekstrim saya akan katakan, “Tidak mungkin sebuah negara menerapkan sistem pemerintahan secara ideal.”

Alasannya sangat simple, Karena negara terlalu luas. Dampak kepemimpinan sulit dan lama terasa di lapisan paling bawah masyarakat. Sehingga, dalam pelaksanaan sistem pemerintahan, oportunisme dan opini publik yang akan bermain mendominasi.

Maka dari itu, jika ingin melihat idealnya organisasi, maka harus melihat ke organisasi paling bawah. Misalnya organisasi program studi (Prodi) kampus atau jurusan. Jika di masyarakat ada karang taruna atau OSIS sekolah.

Keluar dari urusan politis, Ormawa atau Orsiswa paling bawah adalah organisasi yang bisa diidealkan. Sehingga bisa menjadi wadah belajar, berkolaborasi, dan mengembangkan skill kepemimpinan (Miyarso, 2009).

Meskipun demikian, tetap saja. Karena rujukannya adalah politik pusat (dalam hal ini negara), maka politisasi dan money politik bisa dimainkan di dalam organisasi paling bawah sekalipun.

Inilah maksud dari kaderisasi yang terbalik. Ketika mahasiswa harus menyesuaikan diri dengan atmosfir politik (ala-ala oportunisme bagi-bagi kursi dan money politik) dan terpaksa meninggalkan idealisme politisnya. Mahasiswa seharusnya menjadi replika paling ideal ketika menerapkan ilmu pemerintahan dan pengaturan negara. Namun hal itu tidak bisa terjadi karena kaderisasinya terbalik.

Boleh saya katakan, kaderisasi yang terbalik ini menyangkut beberapa hal:

  • Intervensi senior dalam mengotori ide dan gagasan mahasiswa bawahnya
  • Pembatasan dalam penerapan sistem politik ideal dengan skeptisme sosial
  • Belajar dari realitas politik negara, bukan dari buku bacaan atau para ahli

Mustahil kesejahteraan yang ideal diciptakan oleh pemerintahan yang dibentuk dengan politik oportunisme dan uang. Karena hilir politik yang demikian tetaplah bagi-bagi uang dan jabatan. Seperti apa yang dikatakan kader Partai Demokrat tentang ‘mahar dan jabatan’ di acara Mata Najwa.

Politik Negara Bukanlah Percontohan

Jika bukan negara yang dijadikan contoh, lantas apa?

Tidak ada. Karena semua sistem pemerintahan itu memiliki kecacatan. Sistem pemerintahan ‘tanggung’ berbasis Pancasila yang ada di Indonesia ini seharusnya bukan jadi percontohan dalam realitasnya. Karena menggunakan basis konsolidasi meterialistis bukan konsolidasi kekeluargaan.

Saya bisa mengatakan hal ini karena kader Partai Demokrat juga mengatakan hal yang serupa. Sulit menjadi pemimpin, jika tidak punya uang. Uang akan sulit didapat jika tidak punya link dan pekerjaan. Pekerjaan akan sulit didapat jika tidak ada orang dalam (link). Maka, untuk menjadi orang dalam, seseorang harus ‘membayar mahar’.

salah satu skema politik

Gambar lingkaran setan salah satu skema politik [hanya opini aja, jangan baper]

Hal-hal seperti itulah yang membuat realitas politik negara tidak bisa dijadikan percontohan. Solusi yang terbaik adalah membawa idealisme organisasi bawah, bukan membawa pragmatisme yang timbul dari atas.

Relevansi PEMIRA dan PEMILU: Opini Cocokologi

Pemilihan Umum Raya (Pemira) adalah sebuah ajang pemilihan pemimpin di dalam kampus untuk memilih eksekutor pemerintahan dalam organisasi mahasiswa (Mulyana, 2016). Pemira ini adalah sebuah hal yang sangat biasa dan wajib ada di kampus.

Dari kejadian yang menimpa partai Demokrat, ada isu-isu tentang pencalonan presiden 2024. Keluar dari polemik tersebut, terdapat bursa presiden yang membeberkan beberapa nama yang memiliki elektabilitas di pemilihan presiden 2024 nanti.

Apakah di kampus tidak ada? Mengingat negara adalah representasi politik kampus.

Selalu ada! Apalagi kampus besar yang memiliki mahasiswa yang banyak. Politik kampus ternama saya rasa hampir sama dengan politik negara. Terkadang, sudah ada nama calon yang diusung oleh jauh-jauh hari. Bukan oleh partai, akan tetapi oleh Organisasi Ekstra Kampus (ORMEK).

Memang benar, jika dikatakan Organisasi Ekstra Kampus (ORMEK) bisa memperkuat gerakan dalam mendukung terciptanya kampus yang demokratis. Namun pertanyaan adalah: demokratis yang seperti apa? Tentunya demokratis yang seperti negara. Dipermukaan saja demokratis, anti-money politik, menjadi pengagung kesejahteraan rakyat semua. Tapi disisi dark and shadow-nya siapa yang tahu? Dah lah, males bahas gini-ginian.

Sehingga, jika Anda ingin tahu bagaimana cocokologi PEMIRA dan PEMILU ini. Bisa melihat gambar di bawah ini:

PEMILU PEMIRA
Konsolidasi Politik Sama
Kepentingan Golongan Sama
Ketidakpedulian Rakyat Sama
Money Politik Kadang Sama
Janji Palsu Hmm.. Kadang Sama
Bagi-bagi Kursi Sama kayak’e
Apa lagi ya? Kalian isi di kolom komentar kalau mau

Sudah jelas bukan? Sehingga jika ada permasalahan negara yang mirip dengan permasalahan organisasi kampus. Ya maklum, karena memang keduanya dibentuk dengan cara yang ‘hampir sama’.

Dikontrol dari Atas dan Intervensi Eksternal

Moeldoko dikatakan bukan kader Partai Demokrat, ujug-ujug menjadi ketua partai. Apakah hal itu aneh? Tentu saja tidak. Karena fluktuasi perpolitikan itu tidak bisa ditebak. Apapun bisa terjadi dan manuver gaya apapun bisa dilakukan.

Pak Jokowi naik PDIP, Pak Prabowo naik Gerindra, lantasi mahasiswa naik apa?

Ya apalagi jika kalau bukan Organisasi Ekstra Kampus. Kendaraan konsolidasi kursi, pemersatu suara, dan lain sebagainya. Bahkan ada teman saya yang spontan bilang, “Mana pisa jadi Presiden Mahasiswa kalau nggak lewat Ormek?”

Sebenarnya, dari hati paling dalam saya tidak mempermasalahkan Ormek sama sekali. Seperti partai dalam kontestasi politik, Ormek juga penting dan baik. Menciptakan kader bangsa yang cinta tanah air dan memiliki kepribadian yang kuat.

Namun yang jadi masalah adalah, ketika Intervensi Ormek dalam Ormawa ini, membuat Organisasi Mahasiswa terkontrol oleh Ormek dan Seniornya. Senior disinilah yang kerap kali menjadi masalah, karena kadang, senior membawa realitas politik negara pada idealitas politik kampus. Sehingga mahasiswa yang digadang-gadang jadi agent of change, social control, dan guardian of the value menjadi sangat dipertanyakan (Rochanah, 2020).

Karena sudah terkontaminasi oleh kepentingan posisi, kaderisasi, finansial pribadi, dan realitas busuk politik negara. Takutnya, konflik yang terjadi di dalam partai Demokrat, juga terbawa ke reling jiwa mahasiswa. Masa masih belajar saja sudah saling membunuh?

Kesimpulan

Semua hal yang saya jelaskan di atas, semua hanyalah opini dan bahkan saya tidak memiliki solusi. Sehingga, semoga dipahami dan tidak baper membacanya. Oh iya, sitasi yang saya berikan itu hanya gaya-gayaan saja, sehingga tidak perlu dicek. Takutnya nanti kalau benar, ini jadi jurnal beneran. Wkwkw…

Semoga artikel Polemik Partai Partai dan Representasi Politik Kampus ini bermanfaat. Sekian dan salam dari saya yang gabut mau nulis apa…

Sumber

  • Amin, Lukman. Pambudi, Handoyo. 2014. Gerakan Demokrasi Deliberatif Organisasi Ekstra Kampus Unesa. Jurnal Paradigma. Vol. 2 No. 2.
  • Miyarso, Estu. 2009. “Pendidikan Politik Mahasiswa”. Artikel Penelitian. Universitas Negeri Yogyakarta.
  • Mulyana, Andika Mei. 2016. Peran Pemilihan Umum Raya Dalam Membangun Kesadaran Berorganisasi Mahasiswa (Studi Deskriptif Pada Kesadaran Politik Mahasiswa Di Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Pasundan Bandung). Skripsi. Bandung. Universitas Pasundan Bandung.
  • Rahman, Ayu Sri. 2014. Pendidikan Politik Mahasiswa Melalui Organisasi Kemahasiswaan Di Universitas Islam Negeri (Uin) Alauddin Samata-Gowa. Skripsi. Gowa. UIN Alaudin.
  • Rochanah. 2020. “Peran Mahasiswa Pgmi Iain Kudus Sebagai Agent Of Change  Di Masa Pandemi Covid-19.” Elementary Islamic Teacher Journal. Vol.2 No.2.
  • Sair, Abdus. 2016. “Kampus Dan Degradasi Pengetahuan Politik Mahasiswa.” Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis. Vol.1 No.1 Hal. 9-20.

2 pemikiran pada “Polemik Partai Politik dan Representasi Politik Kampus [Sekedar Opini]”

Tinggalkan komentar

You cannot copy content of this page