KACA

Dia adalah putera orang kaya. Sejak lahir tak pernah dibawa keluar orang tuanya. Gedung megah, design rumah mewah. Tak ada satu pun furniture murah, semua serba..

Dia adalah putera orang kaya. Sejak lahir tak pernah dibawa keluar orang tuanya. Gedung megah, design rumah mewah. Tak ada satu pun furniture murah, semua serba mahal dan berkualitas. Tentu, tiap sudut ruang selalu ada kamera pengawas. Menjaga setiap ruang dari pencuri atau pembantu yang lalai. Hampir setiap ruang mempunyai pembantu sendiri. Dari ruang tamu yang bertengger pernak-pernik berbahan emas seperti gelas, mangkuk, piring, yang kesemuanya hadiah dan dibeli dari berbagai negara. Ruang bioskop, ruang bermain, ruang gym, apalagi jumlah kamar yang tak terhitung! Sehingga tak heran jika para pembantu sempat mengeluh dengan luas area tanggungjawabnya yang harus selalu bersih, rapi. Meski mereka digaji besar.
Sejak kecil hingga menginjak remaja, sang putera tak pernah di sekolahkan di sekolah pada umumnya. Orang tuanya lebih percaya untuk mendatangkan guru private ke rumah besar dan megahnya. Guru hitung, guru bahasa, guru musik, dicarikan yang terbaik, dari lulusan universitas terbaik, serta digaji dengan sangat layak. Mungkin gaji guru biasa kalah jauh berlipat-lipat. Sehingga sang putera tak pernah berinteraksi dengan kawan sepermainan. Memang mau dengan siapa? Anak-anak dari pembantu? Mereka tidak diizinkan berkeliaran masuk ruang tertentu karena banyak orang tua mereka yang khawatir, kalau-kalau bagaimana jika anak mereka menjatuhkan benda lalu tak sanggup menggantinya. Daripada dipecat lebih baik tak membawa anak-anak mereka ke dalam dunia kerja. Sang putera juga jarang berada di ruang yang banyak pembantu berkumpul menggunjungkan sesuatu. Kehidupan sang putera hanyalah rumah, pembantu yang tak banyak melawan, serta uang dan makan. Ayah ibunya? Hanya menemuinya ketika ada sesuatu yang perlu disampaikan. Itu saja.
Suatu ketika, setelah menuntaskan makan siang, sang putera remaja melihat-lihat dan mengamati benda-benda dibalik almari kaca. Sejak dulu dia tak peduli. Entah sedang kesambet apa tiba-tiba ingin melihantnya.
“Kenapa ibu meletakkan perkakas makan ini di sini?”
Piring, gelas, toke. Untuk apa disimpan? Tidak berguna. Gumamnya.
Pengasuh sang putera hanya diam mengikuti langkah sang putera menuju bilik belajarnya. Ketika pintu dibuka, kamu akan melihat, ribuan buku koleksi ayah ibunya tertata rapi memenuhi dinding. Meja-meja bersih mengkilap. Kaca jendela super besar menyinari ruangan, cahayanya menyebar, menampakkan jelas rak-rak buku maha banyak menyamai perpustakaan daerah. Globe raksasa yang mengantung, peta dunia yang jelas tetempel, yang bisa menyihir sisapapun yang pertama kali masuk ke ruang itu, ya karena begitu besar ukurannya. Tapi siapa sangka, sang putera bukanlah remaja cerdas seperti ayah ibunya. Temperamennya buruk. Moodnya berubah-ubah. Seenaknya sendiri dan tak pernah mau melakukan apapun secara mandiri, kecuali makan dan ke kamar mandi. Seperti halnya ketika belajar didampingi guru private, jika temperamennya kambuh, sang putera hanya akan diam. Tidak mendengarkan, tidak memperhatikan. Siapa yang bisa meluapkan amarah kepada anak sultan macam dia? Yang terjadi kesempatan memperoleh gaji besar hanyalah berupa angan-angan. Sedangkan, para guru yang didatangkan dituntut untuk memberikan progress baik kepada sang putera. Jika sudah begini, harus apa? Apalagi jika sudah keterlaluan, sang putera hanya akan bermain game. Karena sudah kehabisan cara, Pak Kio, salah satu guru private memberikan segelas air kepada sang putera setiap kali hendak memulai belajar. Dengan harapan semoga air yang telah diberi mantra itu dapat meluluhkan sikap arogan sang putera, menyadarkannya untuk giat belajar.
Alih-alih seperti yang diharapkan, sang putera semakin bodoh.
“Pak? Ini apa namanya?”
“Gelas, tuan. Ada…”
Belum selesai bicara, sang putera membanting gelas kaca ke lantai. Pak Kio kaget. Langsung berdiri melihat pecahan-pecahan gelas menjadi butiran kecil nan tajam.
“Kenapa dipecahkan begitu, tuan?” Pak Kio gelisah. Apa ada yang salah dengan ucapannya sehingga membuat tuannya marah.
Pengasuh sang putera yang mendengar keributan dari balik pintu bergegas menghampiri. Tergopoh-gopoh membersihkan puing-puing gelas yang berserakan. Tentu saja mereka kaget. Baru kali ini tuan mudanya membanting gelas.
“Ada apa, tuan?” Tanya pengasuh ketakutan.
“Aku senang.” Sang putera menyeringai lalu melangkah pergi. Pengasuh yang mendongak dari tempatnya jongkok merasa merinding. Tak mengerti lajur pikiran tuannya sedang berada di kiri atau di kanan. Pengasuh itu khawatir dan bertanya apa yang sedang terjadi. Pak Kio juga mendelik kaget, menggeleng tanda tak tahu. Dalam hatinya, apa mantranya berubah haluan. Pak Kio mendadak kacau.
Selepas dari kejadian itu. Sang putera bertingkah aneh. Tentu saja, orang tuanya tidak menyadari. Yang was-was dan ketakutan malah pembantu-pembantu dan pengasuhnya. Sang putera kini memiliki kebiasaan setelah makan atau minum, gelas dan pirinnya akan dia banting, dilempar sengaja lalu tertawa terbahak-bahak. Sang putera bergumam sendiri. Pengasuh sering kali semakin tak mengerti ada apa dengan tuannya. Hingga pengasuhnya menyuruh kepada pembantu bagian dapur agar mengganti alat makan tuannya dengan gelas dan piring berbahan plastik. Sang putera malah marah. Makanannya dilempar. Para pembantu menepi ketakutan melihat sang putera berwajah merah. Pengasuhnya mencoba menenangkan namun dibantah lalu di dorong ke lantai.
“Bawakan aku gelas dan piring kaca!” Bentakan itu segera membuat para pembantu berhamburan. Dengan tangan gemetar, pengasuh sang putera menelpon majikannya. Menjelaskan peristiwa yang terjadi. Orang tua sang putera tak menangapi serius. Mereka hanya berpikir, bahwa anak mereka tengah di kondisi yang kurang baik. Semuanya diserahkan kembali ke pengasuh. Mereka hanya berpesan, layanilah dengan lebih baik lagi.
“Kondisi kurang baik apa?! Kurang baik kok tiap hari.” Jantungnya terasa mau copot. Sabarnya hampir hilang. Kalau saja dia tak ingat keluarga di rumah yang butuh makan, pengasuh itu pasti sudah memilih resign.
Sang putera terus berjalan ke kamarnya. Sembari membabi buta merusak segala sesuatu yang bisa dipecahkan dan menimbulkan bunyi praaangg. Jendela, guci, cermin. Para pembantu semakin ketakutan, para keamanan datang menenangkan. Sang pengasuh kembali menghubungi majikannya. Ibu majikan seorang kepala sekolah, ditelpon tak diangkat. Ayah majikan seorang direktur utama, dihubungi juga terus-terusan hanya berunyi tut tut tut. Tak ada yang bisa diandalkan, pantas saja sama perkembangan anak tidak tahu. Anak mengamuk dikira sedang kurang baik saja. Pengasuh itu ngedumel bingung, panik.
“Bawakan aku gelas! Cepat! Bawakan aku gelas.” Sang putera terus berteriak. Seperti sapi yang mengamuk, menyeruduk dengan tanduknya. Para pembantu tak ada yang berani memberikan. Semua berantakan. berjalan sedikit saja, kaki mereka bisa terluka. Terlalu banyak pecahan kaca.
Mungkin karena teringat dengan gelas-gelas di balik almari kaca. Sang putera bergegas ke sana. Tak peduli kakinya berdarah berceceran kemana-mana. Semua pembantu perempuan berteriak histeris.
Sang puter menuju almari dengan ukiran naga di atasnya. Berhias lampu kuning dan putih di dalamnya. Menyoroti gelas, teko, piring dan pernak pernik lain berlapis emas. Nampak kemilau dan wah semakin nyata. Tapi apa berharganya, gumamnya. Sang putera membuka paksa pintu almari. Berusaha mengeluarkan segala isinya. Dia amat terobsesi. Kenapa ibunya menyimpan barang-barang ini dan memperlakukannya lebih baik daripada bersamanya. Pembantu-pembantu lain tak ada yang boleh membersihkannya kecuali ibu majikan sendiri. Setiap minggu. Namun kenapa padaku tak seperhatian itu. Sang putera semakin menjadi-jadi. Almari tak dapat dibuka. Yang memegang kunci hanya ibunya. Tidak ada kunci cadangan. Tidak ada yang berani menanyakan. Dan praaaaaang… Sang putera menghancurkan pembatas tranparan itu dengan kepalan tangannya. Dari mana dia mendapatkan kekuatan itu. Pembantu perempuan lain semakin takut, tangan mereka gemetar. Apa yang sebenarnya terjadi tuan. Ada apa.
Sang Putera tiba-tiba tertawa. Padahal jelas tangannya penuh darah bertabrakan dengan kaca. Pak Kio yang baru saja datang terkaget-kaget dengan apa yang terjadi. Kenapa seperti kapal terguling begini. Pak Kio bergegas menuju sumber tawa sang putera.
“Tuan? Berhenti!” Pak Kio mencoba menghentikan aksi sang putera yang hendak meluluhlantakkan isi almari itu. Sang putera menoleh. Diam. Lalu terkekeh.
“Buatkan aku kaca yang tak bisa kupecahkan Pak Kio. Buatkan aku kaca yang tak bisa pecah.” Sang putera kembali tertawa.
Setelah mengatakan itu sang putera mendadak menangis dalam tunduk. Persis remaja yang putus asa. Para pembantu dan keamanan ikut berkaca-kaca. Tuan muda yang mereka kenal pendiam, baru kali ini mengamuk hebat, menangis tanpa suara pula. Suasana menjadi hening dan kalut. Mata sang putera terpejam dengan mulut yang berteriak namun tak ada bunyinya. Batin Pak Kio nyeri. Dihampirinya remaja sujud tangis itu diantara puin-puing kaca dan darah. Dia letakkan tas yang tersampir di bahunya ke lantai. Menepuk-nepuk punggung sang putera yang kini telah menangis dengan suara. Sangat kencang. Pak Kio tak berkata apa-apa, begitu pun para pembantu dan keamanan. Dari kejadian ini pula Pak Kio jadi tahu, bukan air bermantra itu yang membuat sang putera merusak hampir seperempat perabotan rumah, namun mental sang putera yang terluka yang tak kunjung menemui obatnya. Ada perasaan lega juga iba bersamaan.
Atas tuntunan Pak Kio, sang putera akhirnya mau buka suara. Sang putera mengutarakan bahwa dia membenci kaca. Kaca yang memantulkan rupanya. Mata juling, bibir sumbing. Seperti moster. Sang putera membenci dirinya sendiri. Setiap kali menengok jendela yang mengarah keluar, sang putera diam-diam memendam harap. Bermain dengan teman-temannya. Tapi siapa yang mau berteman dengannya. Anak para bibi (pembantu) saja tak sudi menghampiriku. Katanya. Ayah dan Ibunya pun tak pernah menanyakan bagaimana perasaannya. Dibawa keluar jalan-jalan pun tak pernah.
“Mungkin mereka malu, Pak. Aku akan merusak reputasi mereka di mata masyarakat.”
Pak Kio terperanjat mendengar ucapan sang putera. Bagaimana bisa luka ini baru teruangkap sekarang. Di saat remaja seusianya yang seharusnya berbahagia, bermain, dan mencoba hal baru.
Sang putera benar-benar membenci kaca.[F]

Bagikan postingan ini:
Laskar Pena
Laskar Pena
Articles: 224

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page