My Last World

Hidup adalah penderitaan. Tidak ada waktu untuk bersenang-senang layaknya pemuda biasa. Dinner sama pacar, travelling, sampai pergi ke diskotik. Hidupku menderita di dalam sebuah rumah kecil milik pamanku. Paman yang aku anggap sebagai manusia terkejam di dunia. Sudah satu minggu ini aku berencana membunuhnya.

Kejam. Ya, aku tahu itu kejam. Tapi bandingkan dengan kekejaman paman padaku. Setiap hari aku disiksa. Demi mendapat makan, aku harus rela diinjak-injak, ditampar, sampai dipukul dengan tongkat pramuka. Pernah, aku disuruh makan rumput, di kurung di kamar mandi seharian tanpa diberi makan, dan dipaksa makan makanan basi.

Sekarat, bukanlah hal yang asing bagiku. Sudah berkali-kali aku hampir mati. Dan saat itu terjadi, aku selalu mengharapkan ajal menjemputku, dan penderitaan ini usai. Namun, paman selalu memberiku kehidupan kembali, lantas menyiksaku kembali.

Sudah ratusan kali kata ‘bunuh diri’ terbersit dalam pikiranku. Namun, ketakutan selalu menghantui. Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya mati di tanganku sendiri. Aku rasa, itu terlalu hina untuk dilakukan. Jika aku bunuh diri, berarti aku kalah dengan penderitaan ini. Lebih baik, kubunuh pamanku dan kuambil kehidupan enaknya.

“Arya…! Kesini!” Paman membentak memanggilku dari ruang depan.

Aku tak keget mendengarnya. Di atas tikar tempat tidurku, aku bangkit, dan beranjak pergi dari kamar penuh barang itu. Kamarku sungguh tak layak untuk disebut kamar manusia. Puluhan barang-barang tak terpakai berserakan di sana. Aku biasa tidur di atas sebuah alas tikar tipis tanpa selimut ataupun bantal. Tak ada meja, kursi, atau perlengkapan pribadi. Jika malam tiba, nuansa kamar itu horor sekali.

Aku keluar dari kamar, berjalan ke ruang depan hendak menemui paman dan melayani apa yang ia butuhkan kali ini.

“Lama sekali jalanmu! SINI! Pijat badanku!” Paman menyentakku.

Diriku masih berdiri di depannya. Hatiku benar-benar berontak ingin melenyapkannya. Otakku berkalut menyimpan dendam yang begitu dalam kepada orang yang duduk di atas sofa di depanku itu.

“Hei! CEPAT! Malah DIAM! Cepat! Atau kau tak makan malam ini.”

Dengan segera, aku mendekat. Paman memposisikan dirinya, tidur dengan posisi tengkurap di atas sofa. Aku segera memijat tubuhnya yang gemuk. Dalam hati, aku ingin memukul tubuh itu. Namun, aku tak ingin melakukan kasalahan fatal. Otakku berpikir merancang rencana pembunuhan.

“Mijat yang BENAR!” Paman berteriak sambil mendongakan wajahnya.

Paman memegang rambutmu dan menariknya. Aku pasrah. Kepalaku tertarik mendekati wajah paman. Mata pamanku menatap lekat mataku. Kebencian mamancar dari mata menakutkan itu. Merah dan kering.

Aku mengangguk ketakutan. Paman lantas melepas rambutku. Aku kembali memijat tubuh paman dengan serius. Aku sudah mengira, malam ini aku tak makan lagi.

Mulai dari punggung, kebawah sampai telapak kaki aku pijat dengan seluruh tenaga. Sampai akhirnya, aku sadar, paman sudah tertidur. Suara nafasnya mendesis parau. Sepertinya paman sangat capek. Namun apa peduliku.

Dengan halus, aku menghentikan pijatanku. Pelan namun pasti, kulangkahkan kakiku menjauh. Kubuang diriku kembali ke kamar. Saat pintu kubuka, suara gesekan terdengar dari engselnya. Aku langsung menghentikan pintu itu. Dengan hati-hati, aku menyelinap masuk dan menutupnya kembali.

Di atas tikar, kurebahkan tubuhku. Tanpa kusadari, mataku tertutup dengan sendirinya. Pikiranku terjun ke alam mimpi. Bertemu dengan ibu dan ayahku yang sudah meninggal dunia tujuh tahun silam. Tiba-tiba pamanku datang dari belakang mereka. Paman menghunuskan pisau menusuk tubuh ayah dan ibuku.

“Ayah, Ibu,…” Aku mencoba memanggilnya.

Pisau itu menembus perut ayah dan ibuku. Di belakang mereka, terlihat paman tersenyum bahagia. Ia menarik pisau itu. Ayah dan ibu terjatuh bersimbah darah. Paman mendekatiku. Tubuhku terpaku tak bisa bergerak. Kakiku bergetar hebat. Paman semakin mendekatiku. Tangannya mulai mengayun, menebaskan pisau belumuran darah itu. Pisau melesat lurus di atas kepalaku.

“Tidak…!” Mimpi itu kembali datang menghantui.

Aku bangkit dari tidur. Keringatku bercucuran. Nafasku terengah-engah. Aku menyapukan pandangan ke sisi-sisi kamar. Benda-benda berserakan di mana-mana. “Aku masih hidup.”

Dengan segera, aku berdiri. Beranjak menuju pintu kamar. Aku sangat haus. Saat pintu kubuka, sebuah kepalan tangan melesat di keningku. Kepalaku terpental ke belakang membawa tubuh kurusku. Aku tersungkur menghantam benda-benda di kamar.

“Siapa yang menyuruhmu BERHENTI!!” Paman masuk ke dalam kamarku. Ia terlihat sangat marah.

“Ma’ ma’ Maaf paman. Maafkan aku?” Aku memohon belas kasih.

Paman mendekatiku. Ia menarik rambutku dengan kuat. Sakit aku rasakan. Diriku tertarik ke atas.

“Kenapa kau berhenti memijatku! KENAPA!” Paman menyentakku sambil menapar pipiku.

Aku terdiam ketakutan. Tanganku bergetar hebat. Keningku terasa memar. Mulutku terbata-bata ingin mengucapkan sesuatu, namun paman kembali menamparnya. Hingga sampai pada tamparan terkeras yang pernah aku rasakan. PLAKK… Diriku tersungkur menyedihkan. Terjerembap menghantam benda-benda yang sudah berserakan.

Aku merasa lemah. Diriku yang sebatang kara hanya bisa diam saat paman menyiksa tubuhku dengan egonya. Ia menendang perutku. Kurasakan sakit yang luar biasa. Paman masih tetap memarahiku. Ia membungkuk menarik bajuku. Sekali lagi, aku hanya bisa pasrah menerimanya. Ia menampar wajahku dengan keras. Aku terjatuh terlentang.

Aku tak menyangka, paman menghabisiku karena aku berhenti memijatnya. Aku merasakan kemarahan paman kali ini benar-benar berada di puncaknya. Aku hanya bisa diam saat wajahku dihajar habis-habisan. Tubuhku ditendang jadi bulan-bulanan. Saat seperti itulah aku pasrah. Mungkin kali ini aku akan mati. Mungkin penderitaanku akan usai sekarang.

Namun sekali lagi tidak. Paman berhenti memukuliku. Mungkin ia sudah puas dengan pelampiasannya. Atau mungkin, ia kasihan denganku. Tubuhku penuh dengan darah. Cairan merah itu keluat lewat mulut, hidung, dan bagian lainnya. Luka menyiksa tubuhku.

“Kanapa aku selalu menderita?” Mulutku menggumam.

Aku memaksa tubuhku untuk berdiri. Sakitnya luar biasa. Namun, aku tahan.

“Paman? Kanapa aku selalu kau siksa…” Aku bertanya parau pada paman.

Paman yang hendak membuka pintu kamarku berhenti. Kepalanya melenggok menatapku. Tatapan itu penuh dengan kebencian.

“Apa kau bilang!” Paman berteriak sambil mendekatiku.

“Apa mau kuhabisi kau! Ha!” Paman semakin mendekatiku.

Kaki pamanku mengayun ke arahku. Begitu cepat, telapak kakinya membentur perut lemahku. Aku meringis kesakitan. Namun, kucoba tegar dan tetap berdiri. Aku memegang betis pamanku. Kudorong kedepan dan paman jatuh terjerembap. Aku mendekati tubuh gemuk itu. Kulesatkan pukulan keras ke wajah sombongnya.

Diriku mulai menangis merasakan dendam. Aku menendang perut pamanku dengan keras. Saat tubuh itu terlentang tak berdaya, aku mendudukinya dan aku hajar habis-habisan. Aku tuangkan seluruh tenagaku hingga pamaku babak belur. Kulihat wajah itu benar-benar penuh luka dan darah. Aku lantas berhenti.

Berdiri dan mengambil TV bekas yang berserakan bersama benda-benda lainnya. Aku mengangkat TV itu. Kubawa mendekati paman yang sekarat. Tanpa ampun, kujatuhkan TV itu tepat di wajah paman. Ini untuk penderitaanku selama ini…

Saat aku selesai dengan perbuatan bengisku. Hatiku teronta-ronta merasa bersalah. Aku merasa diriku sangat hina. Benar-benar hina. Namun, kuyakinkan bahwa aku tak punya pilihan lain. Tersiksa selamanya atau kubunuh penyiksa itu.

Mataku lekat menyorot wajah pamanku yang sudah rusak. Darah ada dimana-mana. Tubuh paman tak bergerak sama sekali. Aku tak peduli. Pintu kamar kubuka. Aku berjalan menuju ke ruang depan. Sepi sekali. Kesenyapan malam merasuk berusaha menghantui. Namun, syaraf ketakutan dan kesakitanku sudah mati.

Aku rasa, inilah akhir duniaku yang kelam. Saat kubuka pintu depan rumah ini, mungkin akan lebih banyak cobaan yang harus kulalui. Namun, aku anggap diriku sudah siap. Aku akan selalu siap melalui penderitaan dunia ini sama seperti melalui penderitaan yang pamanku ciptakan.

Bagikan postingan ini:
Laskar Pena
Laskar Pena
Articles: 223

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page