Berangkat sekolah dengan kegalauan memang tidak menyenangkan. Mengawali hari dengan kesedihan, keterpurukan, dan kegundahan hati. Dalam perjalanan, hanya tatapan kosong yang ia lakukan. Hanya aspal yang sedikit tergambar dalam otaknya. Semuanya samar, tidak ada arah tujuan hidup dan semangat hidup.
Kemarin…
“Kamu memang tidak sayang kepadaku!” Teriak seorang perempuan di dalam kelas.
“Tunggu dulu penjelasanku. Semua ada sebabnya…” Jawab seorang laki-laki.
“Tidak ada yang harus dijelaskan! Semua sudah jelas! Kamu sudah tidak sayang kepadaku!! Mulai hari ini, KITA PUTUS!!!”
Perempuan itu keluar kelas dengan luapan emosi, wajahnya merah padam dengan mata berkaca-kaca. Sedangkan laki-laki itu masih di dalam kelas, berpikir tentang harga diri. Ia masih bingung, mengapa seorang perempuan harus selalu benar. Mereka seolah Tuhan, tahu segala hal. Sekali putus ya putus. Padahal, kemarin, Ia terkena musibah. Pamannya meniggal dunia. Tidak mungkin baginya, meninggalkan takziyah untuk jalan dengan pacar.
Laki-laki itu keluar kelas dengan kesedihan membara. Berjalan dengan pandangan kosong. Hidupnya kacau, kehilangan tujuan hidup.
Sekarang…
Setelah tiba di sekolah, Mahen langsung menuju kelas. Duduk di atas bangku dan akhirnya merebahkan tubuhnya. Ia tidak kuat menjalani kehidupan. Ia tidak setuju dengan takdir. Ia seolah tidak mau menjalani hidup dan bersosial dengan teman-temannya. Padahal, hampir seluruh teman-temannya mengerjakan PR Matematika.
Datanglah Kamandanu, laki-laki yang duduk sebangku dengan Mahen ini, adalah anak yang terkenal tidak pernah mengerjakan PR. Ia langsung menuju bangku tanpa memperhatikan teman-temannya yang mengerjakan PR.
“Kenapa kamu Hen! PR kamu sudah selesai?” Tanya Kamandanu kepada Mahen.
“Belum! Aku sudah tidak perlu mengerjakan PR, aku juga tidak perlu hidup sekarang. Aku dan Salwa sudah putus” Jawab Mahen dengan nada Curhat.
“Ya… Syukurlah?” Goda Kamandanu.
“Apa!, Ternyata bukan hanya PR yang tidak kamu perhatikan. Akan tetapi, teman sebangkumu juga tidak kamu perhatikan.” Mahen menjawab dengan emosi.
Mahen bangkit dari posisi tidur. Ia menatap kamandanu dengan sinis. Karena agak kesal kepada Kamandanu, ia beranjak dari bangkunya. Mahen pergi ke kerumunan teman-temanya yang sedang mengerjakan PR. Ia sebearnya tidak niat untuk mengerjakan PR, akan tetapi hanya ingin menghindari wajah Kamandanu yang mengesalkan.
Kamandanu melihat seekor hewan di dinding. Bergerak pelan ingin menangkap mangsa. Dengan kecepatan elang, ia menangkap hewan yang ada di dinding itu. “Hap”. Kena. Kemandanu berhasil menangkap cicak malang itu. Mungkin, cicak itu sedih, namun Kamandanu bahagia. Dengan cicak itu, ia bisa menjahili teman-temannya yang mengerjakan PR.
Kamandanu mengunci terget. Mahen, adalah target utama. Mehen memang anak yang takut dengan cicak. Takut sekali, ia akan lari terbirit-birit jika melihat cicak, apalagi ekornya yang putus. Mungkin ia geli. Setelah mengunci target, Kamandanu melempar cicik itu dengan kekuatan dan akurasi yang tepat.
Mahen bercakap-cakap dengan Ana. Mereka berdua mungkin membahas PR. Tanpa Mahen sadari, ia berjalan menjauhi Ana. Hendak menuju temannya yang lain. ‘Target ternyata berpindah’. Kamandanu menepuk keningnya sendiri, khawatir bila salah sasaran. Ternyata benar, ia salah sasaran. Cicak yang tadinya mengarah ke tubuh Mahen, berpindah menuju ke tubuh Ana karena Mahen berpindah.
Kelas yang tadinya biasa saja, tiba-tiba ramai. Ana merespon bagai bom meledak.
“CICAAAKK!!! Aku takut Cicak!!”
Ana kebingungan dengan apa yang ia lihat. Cicak menempel di kerudung depannya dan berjalan ke atas menuju kepala. Tangannya bergetar ketakutan. Tanpa ia sadari, Ia langsung merengkuh tubuh Mahen yang masih ia jangkau. Semua orang geger, termasuk Kamandanu. Ana memeluk Mahen erat-erat karena ketakutan.
Mahen kaget tidak terkira. Ia kebingungan dalam pelukan Ana. Pikirannya sudah kemana-mana. Tiba-tiba, ia melihat cicak di atas kepala Ana. Dalam hati, sebenarnya ia takut dengan cicak, namun, karena ada banyak anak perempuan di sana, ia mematahkan rasa takut itu dan terpaksa mengambil cicak di atas kepala Ana. Tangan Mahen bergetar hebat, gemetar karena dipeluk Ana dan takut terhadap cicak. Ia lebih berani ketika Ana hampir menangis di pelukannya.
“Mahen,.. Tolong aku?? Cicak… Aku takut cicak.”
Akhirnya, Mahen menangkap cicak itu dan membuangnya. Pahlawan dalam keterpaksaan. Jika tidak karena gengsi, ia tidak akan memegang binatang menggelikan itu.
Seluruh siswa-siswi di dalam kelas itu bersorak ria,
“Ciee…? Jadian! Jadian! Jadian!!”
Ana tersadar bahwa ia sedang memeluk Mehan. Ia segera melepas pelukan itu. Ia sangat malu, wajahnya memerah, air mata juga sedikit keluar dari matanya. Mahen hanya bisa terdiam, tubuhnya seakan kaku. Otot-ototnya sangat berkontraksi. Memang, sebelumnya ia belum pernah dipeluk seorang perempuan kecuali keluarganya. Ana maupun Mahen, kedua-duanya salah tingkah. Sedangakan, teman-teman mereka masih bergemuruh keras.
“Jadian!!! Jadian!!! Jadian!!!”
Namun, akhirnya mereka semua berhenti. Mehen kembali ke bangku menemui Kamandanu.
“Tadi. Kamu yang melempar cicak!” Tanya Mahen kepada Kamandanu.
“Iya… Tapi kamu senang kann…?” Goda Kamandanu.
Mahen tidak bisa berbohong. Ia benar-benar senang dipeluk Ana. Ada sesuatu yang tumbuh dalam hatinya. Bahkan, kegalauannya hilang seketika. Gara-gara cicak, ia bisa mencintai Ana.
Ia merasakan kesan berbeda ketika melihat Ana. Ia sadar, Ia sedang merasakan butir-butir asmara. Semangat hidupnya kembali, tujuan hidupnya terbentuk, dan ia menemukan sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Namun, ia menemukan masalah besar, ‘Ana adalah anak Pak Bhre, guru di sekolahnya yang terkenal galak’. Jika Mahen ketahuan menembak Ana, Ia pasti dikunyah habis-habisan. Ia sadar, cinta akan selalu tidak bisa dinyana-nyana kadandatangnya, kapan perginya. Kadang membahagiakan, kadang mengecewakan.