Jika Bukan Elektronik yang Berkemba

Rasa penyesalan selalu aku hadapi ketika membaca buku-buku sains. Hukum ini, teori itu, rumus ini, asas itu. Semuanya harus punya dasar logika. Pesawat terbang, kapal laut, roket luar angkasa, semuanya harus bisa diulas dengan otak kiri. Saat aku membaca buku-buku eksak sekolahku, hanya ada rasa bosan dan muak yang melilit hasratku.

Mungkin dunia akan beda jika nenek moyangku dahulu tidak mengembangkan elektronik, namun protonik. Dunia dimana tidak ada sains dan teknologi. Hukum sihir berlaku, manusia terbang itu biasa, telepati, dan kekuatan supranatural menjamur dalam kehidupan masyarakat.

***

Saat kubuka mataku, dunia terasa berbeda. Foto-foto di dinding kamarku tidak lagi ilmuan fisika, namun nenek sihir pencipta sapu terbang. Aku sama sekali tidak jijik melihat wajah kerutnya, malah hatiku sangat damai melihat foto itu. Aku beranjak dari ranjang tidurku, tiba-tiba barang-barang yang berserakan bergerak sendiri kembali ke tempat semula. Aku mengucek mataku, sangat nyata sekali.

Aku berjalan hendak keluar kamar, pintu terbuka dengan sendirinya. Tiba-tiba, terdengar suara dalam telingaku, “Arya… cepat berangkat sekolah! Pak guru sudah datang!” Mataku langsung melotot tajam.

“Oh iya… Sekarang waktunya sekolah..” Aku tersentak ingat.

Diriku berlari menuju kamar mandi, menyegarkan badan lantas pergi ke dapur untuk sarapan. Di dapur, tidak ada sama sekali makanan, dengan terpaksa, aku langsung berangkat. Saat diriku keluar rumah dan masuk ke dalam dunia yang luas, rasa takjub muncul dalam hatiku. Banyak sekali orang-orang yang menaiki sapu terbangnya di angkasa. Meliuk-liuk bebas membelah udara pagi. Wow…

Rasa takjub berhenti, aku ingat sekolah hari ini. Aku pergi ke bagasi rumah. Inginnya mengambil sepeda motor agar lebih cepat sampai di sekolah. Namun tidak ada sama sekali kendaraan di bagasi itu.

“Kemana semua kandaraan?” Gumamku pelan.

Seorang datang dengan sapu terbangnya. Menghampiriku yang sedang menggaruk kepala kebingunan di depan bagasi rumah.

“Arya… ayo bareng sama aku saja!” Ajak seseorang yang sepertinya sangat aku kenal.

Tanpa banyak berpikir, aku menaiki sapu terbang itu. Rasanya seperti mimpi. Sapu itu melaju di udara dengan cepat, membawaku terbang di atas awan. Aku tersenyum lebar melihat pemandangan indah yang ada di bawahku. Tanganku berpegangan erat pada pundak orang yang ada di depanku.

“Ar… Sapu terbangmu kemana?”

“Entah? Aku apa punya sapu terbang?” Jawabku bingung.

“Kau bercanda ya Ar… Sapu terbangmu kan yang paling baru dari pada yang lain?”

Aku terdiam bingun. Rasanya, baru pertama kali ini aku naik sapu terbang. Tiba-tiba sapu terbang yang aku naiki menukik tajam ke bawah. Rambutku terurai kocar-kacir, benar-benar cara berkendara yang gila, mungkin temanku itu belum punya SIT (Surat Izin Terbang). Sapu terbang mulai bergerak pelan, sebuah gedung besar terlihat di depanku.

“Sudah sampai… Ayo cepat. Kita pasti kena hukuman.”

Sapu terbang berhenti. Melayang di udara. Aku turun dari sapu itu, aku tidak tahu teknologi macam apa yang ada pada sapu itu. Dunia ini sudah mematahkan teori grafitasi. Aku berjalan memasuki gerbang sekolah. Melihat banyak orang sedang memainkan bola di lapangan. Namun, semua pemainnya terbang. Aku hanya bisa takjub melihat pemandangan itu.

Di taman, aku melihat seseorang mengangkat benda tanpa memegangnya. Setelah berjalan dengan rasa takjub, aku sampai di kelas. Teman yang memboncengku tadi mengajakku masuk ke kelas. Aku mengikutinya dengan polos.

“Eiittt.. Jangan duduk dulu” Cegah guru dengan menggeser meja tanpa memegangnya.

“Kenapa terlambat!” Bentak guru itu.

“Bangun kesiangan pak…” Jawabku santai sambil tersenyum.

Teman-temanku masih sama, aku kenal mereka semua. Namun mereka sepertinya tidak mengenalku. Siswa-siswi di kelas itu menulis dengan bulu dan tinta. Di papan tulis, tergambar sebuah sapu terbang. Mungkin, pelajaran hari itu adalah mekanisme sapu terbang.

“Kamu tidak boleh ikut pelajaran. Keluar dari kelas ini.” Sambung guru dengan nada emosi.

Aku tersenyum bahagia. Aku langsung pergi dari kelas itu,  kembali melihat siswa-siswi yang sedang praktek. Ada yang menumbuhkan tanaman, meramu obat berwarna-warni, belajar terbang, belajar berkirim surat tanpa alat, dan lain-lain. Hasrat tiba-tiba muncul mengajakku pergi ke perpustakaan. Aku ingin tahu, buku-buku yang ada di dalam perpustakaan sekolah itu.

Aku berjalan ke perpustakaan. Masuk ke dalamnya, kulihat jutaan buku tertata rapi di rak-rak yang tinggi. Aku melihat-lihat, semua buku dalam perpustakaan itu sangat menakjubkan. Tidak ada sains atau teknologi, yang ada hanya sihir, sapu terbang, dan sejarah-sejarah penemuan. Dan aku tertarik pada satu buku di dalam perpustakaan itu. Judul buku itu adalah “Teknologi… sebuah mitos yang tidak bisa dinalar akal sehat”

Aku tertawa melihat judul buku itu. Aku membukanya lembar demi lembar. Di dalamnya ada gambar pesawat, kapal laut, TV, dan lain-lain. Aku menutupnya kembali. Lantas, aku mencari buku menarik yang lain. Kutemukan buku berjudul “Kuasai terbang sistem 20 Menit”

Aku juga tertawa melihat judul buku itu. Aku membuka buku itu dan mempelajarinya. Sepertinya sangat sederhana, semua orang bisa terbang. Aku mencoba teknik yang diajarkan dalam buku itu. Benar sekali, aku terbang, namun tidak tinggi. hanya sekitar 30 cm. Tubuhku langsung lemas, berkeringat. Terbang ternyata sangat menyita banyak tenaga. Setalah agak puas dengan buku itu, aku mencari buku yang lain. Kutemukan sebuah buku berjudul “Teleportasi… bukanlah hal yang rumit”

Aku benar-benar terhibur dengan judul itu. Namun secara iseng, aku membacanya. Buku itu terdiri dari empat bab berupa langkah-langkah. Aku membacanya sekilas dan mempraktikkannya. Kupejamkan mata dan berkonsentrasi. Aku pikirkan tempat tujuanku, dan benar sekali, setelah membuka mata, aku berpindah tempat. Dengan cepat, aku sudah kembali ke rumahku. Tubuhku rasanya kaku semua. Namun, aku sangat senang bisa menguasai teknik teleportasi.

“Kalau seperti ini caranya, aku tidak akan lagi terlambat berangkat sekolah.”

Aku berjalan di dalam rumahku. Melihat foto di dinding rumahku. Foto keluargaku, fokuku saat bayi di atas sepeda motor. Apa sepeda motor? Aku kaget melihat objek sepeda motor dalam foto itu. Seharusnya tidak ada sepeda motor.

Aku berlari menuju kamarku, aku mengharap pintu kamar itu tebuka sendiri, namun kenyatannya tidak. Tubuhku menabraknya. Ada apa ini? kok tidak terbuka seperti tadi? Aku amat terkejut melihat foto-foto di dalam kamarku. Foto nenek sihir kembali menjadi foto ilmuan sains. Kamarku kembali porak-poranda bagai diterjang angin topan.

Aku keluar kamar, menuju pintu rumah dan aku bawa tubuhku keluar rumah. Aku melihat mobil melaju di jalan depan rumahku. Sepeda motor lalu-lalang tidak ada habisnya. Diriku berjalan menuju bagasi, saat kubuka. Ada dua sepeda motor.

Saat kupandangi langit, tidak ada sapu terbang. Hanya ada hamparan angkasa yang luas berwarna biru dengan hiasan awan putih yang bergerak pelan. Dalam hati, aku menyesal.

Aku salah tujuan.

Tinggalkan komentar

You cannot copy content of this page